Silek dan Orang Bonjol (Esai 6 Pemenang Terbaik Festival Silek Nusantara 2024 UPT Taman Budaya Sumatera Barat )




“Keramaian Pentjak Dari Vereeniging Setia Bondjol Pada 8 April 1923 di Medan” begitu Soeara Bondjol memberi judul untuk dua gambar pada halaman depan edisi No.5 Tahun kelima, Mei 1923. Gambar orang sedang bermain silat. Gambar pertama tertera keterangan “ Engkoe Sairin mementjak pakai sewah dengan Engkoe Sjaridam”. Gambar kedua yang letaknya di sebelah kanan dari gambar pertama, tertulis penjelasan “ Enkoe B. Ketek bermain pedang dengan Enkoe M.Noer”. Inilah gambar (lebih pantas menyebutnya sebagai foto) perdana bagi koran orang Bonjol yang terbit sejak Februari 1919. Sebelumnya tidak pernah ada gambar (foto) atau lukisan di halaman surat kabar perkumpulan orang Bonjol pada pangkal abad ke-20. Redaksi Koran tersebut menyebut ini sebagai edisi spesial “Inilah pertama kali Soeara meloekiskan gambar dalam halamannja. Alangkah bagoesnja kalau setiap keloear dihijasi dengan gambar”

Itu kabar kaitan antara silat dan orang Bonjol. Kabar yang datang jauh dari masa silam. Kurang lebih seabad lalu. Silat telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Keahlian bersilat menjadi kebanggaan tersendiri pula. Sebagian rasa bangga itu setidaknya mereka buktikan lewat pemilihan gambar pertunjukan silat sebagai sesuatu yang harus mereka tampilkan pada halaman pertama Soeara Bondjol. Bahkan silat jadi bagian dari permainan untuk sebuah keramaian yang mereka helat. Melalui surat kabar yang diterbitkan perkumpulannya, mereka menegaskan bahwa “Pada masa ini kembali disoekai oleh orang kita permainan pentjak ini, apalagi masa dahoeloe permainan ini digemari orang kita betoel” (Soeara Bondjol, No.4 Tahun keenam, 20 April 1924).

Sejak dulu orang Bonjol suka dan gemar pada silat. Jauh sebelum masa berita di koran tersebut diterbitkan. Sejarah mencatat  bahwa Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) adalah orang Bonjol yang terampil siasat perang dan silat. Ketrampilan diluar keahlian lain yang selama ini jamak dikenal banyak orang seperti pengua saan pengetahuan agama Islam, pemahaman seluk adat istiadat, kelicinan strategi ekonomi, dan pengetahuan lainnya.

Dalam sejarahnya, Tuanku Imam Bonjol melatih 5.000 pemuda Bonjol menjadi pesilat tangguh. 400 orang diantaranya merupakan pengawal pribadinya. Aliran Silek (silat) yang ia miliki dan ajarkan kepada orang (terutama pasukan paderi) bukan aliran silek yang dikenal secara umum. Bukan bagian dari silek tuo, bukan pula silek kumango, atau silek sunua, atau silek lintau, atau silek harimau, atau silek sungai pagu, atau silek luncua, atau silek taralak. Bukan. Ia menyebut aliran silatnya  sebagai silek kitab tinju sambuik sapuluah.

Silek kitab tinju sambuik sapuluah menggunakan langkah tiga. Filosofinya suruik salangkah ba arti manang, maju salangkah ba arti kalah (mundur selangkah berarti menang, maju selangkah berarti kalah). Keunggulannya adalah pada kecepatan dan kekuatan. Meski belum teridentifikasi kapan dan kepada siapa pertama kali Tuanku Imam Bonjol mempelajari aliran silat ini? Belum ditemukan dalam catatan sejarah. Satu hal yang nyata bahwa silat telah ada dan berkembang di Bonjol sekurangnya seiring masa hidup Tuanku Imam Bonjol antara tahun 1772 sampai dengan 1864. 

“Seingat saya, semasa kecil kami berlatih silat di belakang rumah seperti sengaja disurukan agar tak tampak bagi orang banyak. Berbeda dengan sekarang, berlatih di gelanggang rami lapangan tengah kampung.” kenang Zulfakar (75) dalam wawancara tengah Juli 2024 lalu. Ia juga bercerita bahwa terakhir kali ia menyaksikan pertunjukkan silat saat berusia 12 tahun. Tiap tahun, di Pasar Bonjol, tepatnya di halaman gedung SGB (Sekolah Guru Bawah) digelar permainan. Salah satunya pertunjukkan silat. Pemainnya memakai pakaian jubah serba putih. Lidah orang kampung mengistilahkannya sebagai silek alih (Silat Alif) atau silek Tuanku Imam

Selama wawancara dengan Zulfakar ia sering menyebut nama perguruan Torpedo.

Perguruan silat tradisional Torpedo merupakan perguruan silat paling dikenal masyarakat Bonjol sekitarnya pada tahun 1990-an. Masa itu adalah sebuah kebanggaan bagi seseorang ketika orang mengenalnya sebagai murid perguruan Torpedo Bonjol. Memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai nagari seperti Limo Koto, Koto Kaciak, Simpang Alahan Mati bahkan dari nagari Malampah. Perguruan ini bisa disebut sebagai perguruan favorit pada masanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa sebelum atau  pada saat yang sama di Bonjol ada perguruan silat lainnya (seperti di Kumpulan, di Koto Kaciak, di Limo Koto dll). Hampir di setiap nagari ada perguruan silat, terang Zulfakar. Perguruan Torpedo inilah yang kemudian hari diketahui memiliki hubungan dengan aliran silek tinju sambuik sapuluah.

Pendiri dan guru silat di perguruan ini adalah orang-orang yang pernah belajar dan menuntut ilmu silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah diantaranya Ponto N.Noer, Amri Sutan Pamenan, Rasiak dll

Secara ranji, keberadaan aliran silat warisan Tuanku Imam Bonjol ini terkon firmasi melalui beberapa sumber antara lain tulisan yang ditayangkan ranah berita.com tertanggal 24 Oktober 2016; Buku Tokoh-Tokoh Gerakan Padri yang ditulis S.Metron Masdison diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa-Kemendikbud RI tahun 2018; wawancara dengan Hendri Jasril (45) pewaris dan penerus aliran silek kitab tinju sambuik sapuluah;wawancara dengan Zulfakar (75) tetua kampung tinggal di Pasar Bonjol.

Media ranahberita. com melalui sebuah judul tulisannya bernada mengingatkan kepada pembaca dan masyarakat umum bahwa ada satu aliran silat pernah tumbuh dan kembang di Bonjol. Aliran yang diwariskan pimpinan padri, Tuanku Imam Bonjol. Tinju Sambuik Sapuluah, ‘Kitab Silat’ Tuanku Imam Bonjol yang Terlupakan begitu bunyi judul beritanya (24 Oktober 2016). Berita yang menginformasikan bahwa pada tahun 2016 masih ada guru silek tinju sambuik sapuluah yang mau mengajarkan aliran silat tersebut kepada orang Bonjol sekitarnya. “ Saat ini ada 50 murid yang sedang belajar ilmu silat ini. Kami bersyukur ilmu silat ini menjadi kegiatan ekstrakurikuler di SMPN 1 Bonjol. Kami latihan setiap Jum’at sore” begitu keterangan Hendri Jasril (guru silat) yang ditulis ranahberita.com.

Tulisan tersebut sangat membantu dalam penelusuran ranji pewaris ilmu silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah. Dituliskan bahwa pewaris yang masih hidup dan mau mengajarkannya saat ini adalah Hendri Jasril. Merujuk pada keterangan Hendri Jasril (wawancara awal Agustus 2024) dan tulisan di ranahberita.com diketahui bahwa Hendri Jasril belajar pada Abdul Murad Kari Mudo alias Muraik, paman (adik ibunya) meninggal tahun 2023 lalu. Muraik belajar pada ayah kandungnya, Abdul Aziz Sutan Sinaro alias Si Asih Gadang. Abdul Aziz berguru pada ayahnya, Doman Rajo Mau.

Doman Rajo Mau adalah upeh atau opas di Padang (sebutan untuk penjaga penjara masa Belanda yang berasal dari pribumi). Saat bertugas ia diangkat menjadi murid silat oleh Ajo Paman (asal Pariaman). Ajo PAman adalah seorang tahanan yang menerima ilmu silek tinju sambuik sapuluah dari Bagindo Tan Labiah (Tan Lobe). Tan Lobe satu dari beberapa panglima Tuanku Imam Bonjol. Tokoh inilah yang belajar langsung aliran silek ini kepada Tuanku Imam Bonjol.Ajo Paman belajar silek pada Tan Lobe sebelum gurunya ini dipindahkan ke Manado tahun 1940. Tan Lobe meninggal di Manado tahun 1888.   

Dengan nada kagum S. Metron Masdison dalam bukunya Tokoh-Tokoh Gerakan Padri menggambarkan betapa besar arti keahlian silek aliran ini bagi pasukan padre. “…Dalam bidang militer pun Bonjol sangat kuat. Pada satu masa, Bonjol mempunyai lima ribu prajurit siap tempur. Tuanku Imam langsung turun tangan melatih. Tak hanya dalam keahlian senjata, tetapi juga silat. Sampai sekarang Perguruan Silat Torpedo Bonjol masih memakai aliran silat yang diciptakan Tuanku Imam. Kitab Tinju Sambuik Sapuluah” (hlm.39-40).

Lanjuik silek dih. Ndak buliah punah lah. Jan bawo lalok. Itu pusako awak ro. Indak buliah dihilanganlah” artinya lanjutkan silat ini. Tidak boleh punah. Jangan dibawa tidur. Itu pusaka kita. Tidak boleh dihilangkan. Begitu Hendri Jasril (kelahiran tahun 1979) menirukan pesan Abdul Aziz Sutan Sinaro alias  Si Asih Gadang, kakek sekaligus guru silatnya. Pesan dari kakek beberapa waktu sebelum meninggal tahun 1994.

Pasca kematian kakek, pesan itu ia laksanakan. Masa itu perguruan Torpedo sedang ramai-ramainya peminat untuk belajar. Saat itu, Hendri Jasril tidak aktif bergabung dengan perguruan itu. Hendri Jasril hanya menurunkan ilmu silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah kepada anak dan keturunan keluarga besarnya. Baik dari pihak ibu maupun pihak ayahnya. Latihan biasa dilakukan tiap malam Jumat di belakang sebuah sekolah tak jauh dari rumahnya di Musuih (kejorongan Musuih, Nagari Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman). Seiring bergulirnya waktu, ia diminta pihak SMPN 1 Bonjol untuk melatih silat sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah tersebut.

Memasuki tahun 2000-an, aktivitas perguruan Torpedo perlahan menurun, jumlah muridnya menyusut. Hingga akhirnya benar-benar redup. Perguruan Torpedo hanya hidup dan kembang dalam ingatan dan kenangan sebagian masyarakat Bonjol.

Rantai sambung pewarisan ilmu silat aliran yang diwariskan Tuanku Imam Bonjol itu hanya tampak dari kegiatan ekstrakurikuler yang dilakoni Jasril di beberapa sekolah berbagai tingkat di Bonjol. “ Saya hanya mengajarkan kulit-kulitnya saja. Belum pernah mengajarkan inti dari gerakan silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah itu” jelas Pandeka Pasaman, gelar yang Hendri Jasril terima tahun 2015.

“Saya juga tidak pernah menyebut nama aliran silat itu kepada peserta ekstrakuri kuler silat yang saya latih” pengakuannya dalam wawancara awal Agustus 2024 di rumahnya Padang Cancang, kejorongan Lubuk Ambacang, Nagari Ganggo Mudiak, Bonjol, Pasaman. Hanya akan diberikan kepada mereka yang benar-benar meminta dan membutuhkan. Biasanya ada pertanda bagi mereka yang datang  sungguh-sungguh untuk mempelajarinya. Ceritanya dalam wawancara.

Sejak awal tahun 2024 Pandeka Pasaman tidak melatih ekstrakurikuler silat di sekolah manapun. Termasuk di sekolah tempatnya bertugas sebagai satuan pengamanan, SMAN 1 Bonjol. Ekstrakurikuler bela diri disekolah itu berganti, dulu silat kini Taekwondo. Ia besyukur sebagai gantinya, bidang kebudayaan Dinas Parporabud Kabupaten Pasaman memintanya untuk melatih anak-anak sekitar Museum Tuanku Imam Bonjol. Latihan seminggu sekali di kompleks museum. Mulai Februari hingga Oktober 2024. 

“ Ini bagian upaya pemerintah Kabupaten Pasaman melindungi silek khas Tuanku Imam Bonjol dari kepunahan” terang Jaafar, kepala bidang kebudayaan Disparporabud Kabupaten Pasaman.

Kini, ada dua puluhan orang anak-anak Bonjol berlatih di Museum yang menyimpan peninggalan dan catatan seputar Tuanku Imam Bonjol dan gerakan padri. Tiap Sabtu sore, terkadang pada Minggu pagi.

Tepat kiranya, di tempat itulah seharusnya pengetahuan bela diri yang beraliran khas Tuanku Imam diwariskan kepada anak keturunan Bonjol dan sekitarnya. Karena di sana rekam jejaknya tersimpan. Selain itu sejak dari dulunya, mereka adalah masyarakat yang suka dan gemar dengan pengetahuan seni bela diri yang satu ini. Sebagaimana yang telah dicatatkan pendahulu mereka di surat kabar kebanggaan mereka:

Pada masa ini kembali disoekai oleh orang kita permainan pentjak ini, apalagi masa dahoeloe permainan ini digemari orang kita betoel (Soeara Bondjol, No.4 Tahun keenam, 20 April 1924).

 

 

 

Komentar