Silek dan Orang Bonjol (Esai 6 Pemenang Terbaik Festival Silek Nusantara 2024 UPT Taman Budaya Sumatera Barat )
Itu
kabar kaitan antara silat dan orang Bonjol. Kabar yang datang jauh dari masa silam.
Kurang lebih seabad lalu. Silat telah menjadi bagian dari keseharian mereka. Keahlian
bersilat menjadi kebanggaan tersendiri pula. Sebagian rasa bangga itu setidaknya
mereka buktikan lewat pemilihan gambar pertunjukan silat sebagai sesuatu yang
harus mereka tampilkan pada halaman pertama Soeara
Bondjol. Bahkan silat jadi bagian dari permainan untuk sebuah keramaian
yang mereka helat. Melalui surat kabar yang diterbitkan perkumpulannya, mereka menegaskan bahwa “Pada masa ini
kembali disoekai oleh orang kita permainan pentjak ini, apalagi masa dahoeloe
permainan ini digemari orang kita betoel” (Soeara
Bondjol, No.4 Tahun keenam, 20 April 1924).
Sejak
dulu orang Bonjol suka dan gemar pada silat. Jauh sebelum masa berita di koran
tersebut diterbitkan. Sejarah mencatat
bahwa Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) adalah orang Bonjol yang terampil
siasat perang dan silat. Ketrampilan diluar keahlian lain yang selama ini jamak
dikenal banyak orang seperti pengua saan pengetahuan agama Islam, pemahaman
seluk adat istiadat, kelicinan strategi ekonomi, dan pengetahuan lainnya.
Dalam
sejarahnya, Tuanku Imam Bonjol melatih 5.000 pemuda Bonjol menjadi pesilat
tangguh. 400 orang diantaranya merupakan pengawal pribadinya. Aliran Silek (silat) yang ia miliki dan ajarkan
kepada orang (terutama pasukan paderi) bukan aliran silek yang dikenal secara umum. Bukan bagian dari silek tuo, bukan
pula silek kumango, atau silek sunua, atau silek lintau, atau silek harimau,
atau silek sungai pagu, atau silek luncua, atau silek taralak. Bukan. Ia
menyebut aliran silatnya sebagai silek kitab tinju sambuik sapuluah.
Silek kitab tinju sambuik sapuluah
menggunakan langkah tiga. Filosofinya suruik
salangkah ba arti manang, maju salangkah ba arti kalah (mundur selangkah
berarti menang, maju selangkah berarti kalah). Keunggulannya adalah pada
kecepatan dan kekuatan. Meski belum teridentifikasi kapan dan kepada siapa
pertama kali Tuanku Imam Bonjol mempelajari aliran silat ini? Belum ditemukan
dalam catatan sejarah. Satu hal yang nyata bahwa silat telah ada dan berkembang
di Bonjol sekurangnya seiring masa hidup Tuanku Imam Bonjol antara tahun 1772
sampai dengan 1864.
“Seingat
saya, semasa kecil kami berlatih silat di belakang rumah seperti sengaja
disurukan agar tak tampak bagi orang banyak. Berbeda dengan sekarang, berlatih
di gelanggang rami lapangan tengah
kampung.” kenang Zulfakar (75) dalam wawancara tengah Juli 2024 lalu. Ia juga
bercerita bahwa terakhir kali ia menyaksikan pertunjukkan silat saat berusia 12
tahun. Tiap tahun, di Pasar Bonjol, tepatnya di halaman gedung SGB (Sekolah
Guru Bawah) digelar permainan. Salah satunya pertunjukkan silat. Pemainnya
memakai pakaian jubah serba putih. Lidah orang kampung mengistilahkannya
sebagai silek alih (Silat Alif) atau
silek Tuanku Imam
Selama
wawancara dengan Zulfakar ia sering menyebut nama perguruan Torpedo.
Perguruan
silat tradisional Torpedo merupakan perguruan silat paling dikenal masyarakat
Bonjol sekitarnya pada tahun 1990-an. Masa itu adalah sebuah kebanggaan bagi
seseorang ketika orang mengenalnya sebagai murid perguruan Torpedo Bonjol.
Memiliki banyak murid yang berasal dari berbagai nagari seperti Limo Koto, Koto
Kaciak, Simpang Alahan Mati bahkan dari nagari Malampah. Perguruan ini bisa
disebut sebagai perguruan favorit pada masanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa
pada masa sebelum atau pada saat yang
sama di Bonjol ada perguruan silat lainnya (seperti di Kumpulan, di Koto
Kaciak, di Limo Koto dll). Hampir di setiap nagari ada perguruan silat, terang
Zulfakar. Perguruan Torpedo inilah yang kemudian hari diketahui memiliki
hubungan dengan aliran silek tinju
sambuik sapuluah.
Pendiri
dan guru silat di perguruan ini adalah orang-orang yang pernah belajar dan
menuntut ilmu silat aliran kitab tinju
sambuik sapuluah diantaranya Ponto N.Noer, Amri Sutan Pamenan, Rasiak dll
Secara
ranji, keberadaan aliran silat warisan Tuanku Imam Bonjol ini terkon firmasi
melalui beberapa sumber antara lain tulisan yang ditayangkan ranah berita.com tertanggal 24 Oktober
2016; Buku Tokoh-Tokoh Gerakan Padri
yang ditulis S.Metron Masdison diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa-Kemendikbud RI tahun 2018; wawancara dengan Hendri Jasril (45)
pewaris dan penerus aliran silek kitab tinju
sambuik sapuluah;wawancara dengan Zulfakar (75) tetua kampung tinggal di
Pasar Bonjol.
Media
ranahberita. com melalui sebuah judul
tulisannya bernada mengingatkan kepada pembaca dan masyarakat umum bahwa ada
satu aliran silat pernah tumbuh dan kembang di Bonjol. Aliran yang diwariskan
pimpinan padri, Tuanku Imam Bonjol. Tinju
Sambuik Sapuluah, ‘Kitab Silat’ Tuanku Imam Bonjol yang Terlupakan begitu
bunyi judul beritanya (24 Oktober 2016). Berita
yang menginformasikan bahwa pada tahun 2016 masih ada guru silek tinju sambuik sapuluah yang mau mengajarkan aliran silat
tersebut kepada orang Bonjol sekitarnya. “ Saat ini ada 50 murid yang sedang
belajar ilmu silat ini. Kami bersyukur ilmu silat ini menjadi kegiatan
ekstrakurikuler di SMPN 1 Bonjol. Kami latihan setiap Jum’at sore” begitu
keterangan Hendri Jasril (guru silat) yang ditulis ranahberita.com.
Tulisan
tersebut sangat membantu dalam penelusuran ranji pewaris ilmu silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah. Dituliskan
bahwa pewaris yang masih hidup dan mau mengajarkannya saat ini adalah Hendri
Jasril. Merujuk pada keterangan Hendri Jasril (wawancara awal Agustus 2024) dan
tulisan di ranahberita.com diketahui
bahwa Hendri Jasril belajar pada Abdul Murad Kari Mudo alias Muraik, paman
(adik ibunya) meninggal tahun 2023 lalu. Muraik belajar pada ayah kandungnya,
Abdul Aziz Sutan Sinaro alias Si Asih Gadang. Abdul Aziz berguru pada ayahnya,
Doman Rajo Mau.
Doman
Rajo Mau adalah upeh atau opas di
Padang (sebutan untuk penjaga penjara masa Belanda yang berasal dari pribumi).
Saat bertugas ia diangkat menjadi murid silat oleh Ajo Paman (asal Pariaman).
Ajo PAman adalah seorang tahanan yang menerima ilmu silek tinju sambuik
sapuluah dari Bagindo Tan Labiah (Tan Lobe). Tan Lobe satu dari beberapa
panglima Tuanku Imam Bonjol. Tokoh inilah yang belajar langsung aliran silek
ini kepada Tuanku Imam Bonjol.Ajo Paman belajar silek pada Tan Lobe sebelum
gurunya ini dipindahkan ke Manado tahun 1940. Tan Lobe meninggal di Manado
tahun 1888.
Dengan
nada kagum S. Metron Masdison dalam
bukunya Tokoh-Tokoh Gerakan Padri menggambarkan
betapa besar arti keahlian silek aliran ini bagi pasukan padre. “…Dalam bidang
militer pun Bonjol sangat kuat. Pada satu masa, Bonjol mempunyai lima ribu
prajurit siap tempur. Tuanku Imam langsung turun tangan melatih. Tak hanya
dalam keahlian senjata, tetapi juga silat. Sampai sekarang Perguruan Silat
Torpedo Bonjol masih memakai aliran silat yang diciptakan Tuanku Imam. Kitab Tinju Sambuik Sapuluah” (hlm.39-40).
“Lanjuik silek dih. Ndak buliah punah lah.
Jan bawo lalok. Itu pusako awak ro. Indak buliah dihilanganlah” artinya
lanjutkan silat ini. Tidak boleh punah. Jangan dibawa tidur. Itu pusaka kita.
Tidak boleh dihilangkan. Begitu Hendri Jasril (kelahiran tahun 1979) menirukan
pesan Abdul Aziz Sutan Sinaro alias Si
Asih Gadang, kakek sekaligus guru silatnya. Pesan dari kakek beberapa waktu
sebelum meninggal tahun 1994.
Pasca
kematian kakek, pesan itu ia laksanakan. Masa itu perguruan Torpedo sedang
ramai-ramainya peminat untuk belajar. Saat itu, Hendri Jasril tidak aktif
bergabung dengan perguruan itu. Hendri Jasril hanya menurunkan ilmu silat
aliran kitab tinju sambuik sapuluah
kepada anak dan keturunan keluarga besarnya. Baik dari pihak ibu maupun pihak
ayahnya. Latihan biasa dilakukan tiap malam Jumat di belakang sebuah sekolah
tak jauh dari rumahnya di Musuih (kejorongan Musuih, Nagari Ganggo Hilia,
Bonjol, Pasaman). Seiring bergulirnya waktu, ia diminta pihak SMPN 1 Bonjol
untuk melatih silat sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah
tersebut.
Memasuki
tahun 2000-an, aktivitas perguruan Torpedo perlahan menurun, jumlah muridnya
menyusut. Hingga akhirnya benar-benar redup. Perguruan Torpedo hanya hidup dan
kembang dalam ingatan dan kenangan sebagian masyarakat Bonjol.
Rantai
sambung pewarisan ilmu silat aliran yang diwariskan Tuanku Imam Bonjol itu
hanya tampak dari kegiatan ekstrakurikuler yang dilakoni Jasril di beberapa
sekolah berbagai tingkat di Bonjol. “ Saya hanya mengajarkan kulit-kulitnya
saja. Belum pernah mengajarkan inti dari gerakan silat aliran kitab tinju sambuik sapuluah itu” jelas
Pandeka Pasaman, gelar yang Hendri Jasril terima tahun 2015.
“Saya
juga tidak pernah menyebut nama aliran silat itu kepada peserta ekstrakuri
kuler silat yang saya latih” pengakuannya dalam wawancara awal Agustus 2024 di
rumahnya Padang Cancang, kejorongan Lubuk Ambacang, Nagari Ganggo Mudiak,
Bonjol, Pasaman. Hanya akan diberikan kepada mereka yang benar-benar meminta
dan membutuhkan. Biasanya ada pertanda bagi mereka yang datang sungguh-sungguh untuk mempelajarinya.
Ceritanya dalam wawancara.
Sejak
awal tahun 2024 Pandeka Pasaman tidak melatih ekstrakurikuler silat di sekolah
manapun. Termasuk di sekolah tempatnya bertugas sebagai satuan pengamanan, SMAN
1 Bonjol. Ekstrakurikuler bela diri disekolah itu berganti, dulu silat kini
Taekwondo. Ia besyukur sebagai gantinya, bidang kebudayaan Dinas Parporabud
Kabupaten Pasaman memintanya untuk melatih anak-anak sekitar Museum Tuanku Imam
Bonjol. Latihan seminggu sekali di kompleks museum. Mulai Februari hingga
Oktober 2024.
“
Ini bagian upaya pemerintah Kabupaten Pasaman melindungi silek khas Tuanku Imam
Bonjol dari kepunahan” terang Jaafar, kepala bidang kebudayaan Disparporabud
Kabupaten Pasaman.
Kini,
ada dua puluhan orang anak-anak Bonjol berlatih di Museum yang menyimpan
peninggalan dan catatan seputar Tuanku Imam Bonjol dan gerakan padri. Tiap
Sabtu sore, terkadang pada Minggu pagi.
Tepat
kiranya, di tempat itulah seharusnya pengetahuan bela diri yang beraliran khas
Tuanku Imam diwariskan kepada anak keturunan Bonjol dan sekitarnya. Karena di
sana rekam jejaknya tersimpan. Selain itu sejak dari dulunya, mereka adalah
masyarakat yang suka dan gemar dengan pengetahuan seni bela diri yang satu ini.
Sebagaimana yang telah dicatatkan pendahulu mereka di surat kabar kebanggaan
mereka:
Pada masa ini kembali disoekai oleh
orang kita permainan pentjak ini, apalagi masa dahoeloe permainan ini digemari
orang kita betoel (Soeara Bondjol, No.4 Tahun keenam, 20
April 1924).

Komentar
Posting Komentar