Memangnyo ado pustaka nagari di nagari kito?
(Memangnya ada pustaka nagari di nagari kita?)
Kenapa kalimat tanya atas bisa dengan mudah dilontarkan seseorang? Jawabnya karena ia tidak tahu, atau tidak pernah diberitahu, atau tidak mau tahu. Tidak tahu karena jarang, atau bahkan tidak pernah datang berurusan ke kantor walinagari. Pernah atau sering ke kantor walinagari tetapi tidak pernah diberitahu bahwa di kantor walinagari ada pustaka nagari. Tidak mau tahu keberadaan pustaka nagari, karena merasa tidak ada hubungan dan kepentingan atas keberadaan pustaka nagari.
Menurut kami, keadaan demikian dipicu oleh monster ‘serba sekedar” yang mengepung arti pen ting keberadaan pustaka nagari di tengah keseharian anak nagari. Adapun bentuk monster “serba sekedar” tersebut adalah sbb:
Sekedar Ada Sebagai Syarat Ideal Pemerintahan Nagari
Salah satu tujuan mulia negara dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencer daskan kehidupan bangsa. Agar terwujud, tujuan itu diturunkan ke aturan dan program kegiatan bidang pemerintahan dari pusat ke provinsi ke kabupaten ke kecamatan hingga ke nagari (desa). Maka, dalam pemerintahan satu nagari meski ada unsur (fisik/aktivitas) pustaka nagari. Itu idealnya. Bagaimana aktivitas dan fisik keberadaannya untuk tujuan kemudahan akses penge tahuan dan bacaan anak nagari? Itu soal lain. Yang penting:‘sekedar ada’ saja dulu.
Sekedar Laporan dan Kepentingan Penilaian Kompetisi
Birokrasi dan administrasi yang rapi dan tertib adalah impian dan tujuan utama sebuah pemerin tahan. Segala strategi dan trik akan diujicobakan untuk mewujudkannya. Bentuk paling normatifnya adalah laporan yang diserahkan kepada jenjang pemerintahan yang ada di atasnya. Apa saja bentuk program / kegiatan/ aktivitas yang laksanakan badan/lembaga/ unit dibawah nau ngannya tentu harus dilaporkan. Tak terkecuali bagi pemerintahan nagari. Berarti pemerintahan nagari berkewajiban pula memberi laporan terkait aktivitas pustaka nagari. Bukankah begitu duhai tuan walinagari? Selain sebagai laporan, arti penting keberadan pustaka nagari sering tersudut oleh monster ‘sekedar untuk penilaian’ kompetisi nagari berprestasi. Jelang pelaksanaan penilaian, pustaka nagari disolek habis-habisan bak seorang perawan akan naik pelaminan. Atau berhias seperti menyambut hari ulang tahun seorang ‘tuan/nyonya besar’. Pengunjung yang entah siapa dan entah didatangkan darimana dipotret dan diambil video dokumentasi aktivitasnya di sana. Dokumentasi mereka sedang membaca, atau berdiskusi, atau sedang melakukan kegiatan-kegiatan yang dipandang ‘positif’ dan harus ada di sebuah pustaka nagari. Padahal, hari-hari bia sa dan sebelum datang jadwal penilaian, sebuah pustaka nagari hanya diperlakukan sebagai gudang penuh jaring laba-laba yang menanggung bau pesing dari toilet di sampingnya. Tapi, ka rena di sana ada buku (seringnya menumpuk), maka itu juga harus diakui dan disebut sebagai sebuah pustaka nagari. Tersuruk plus tersudut bersama toilet.
Sekedar Ada Pengelola
Jika merujuk dari arti kata ‘pengelola’. Maka, sama-sama diketahui bahwa pengelola adalah pi hak (perorangan/kelompok) yang memiliki kecakapan, ketrampilan, penuh siasat untuk menge lo la sesuatu. Pengelola pustaka nagari, idealnya adalah orang/kelompok yang memiliki kecakapan / ketrampilan/siasat untuk mendekatkan antara fungsi/tujuan keberadaan sebuah pustaka dengan semua rangkaian kegiatan yang dilaksanakannya. Hari ini, siapa dan bagaimana kapasitas sese orang sehingga ia ditunjuk sebagai pengelola pustaka nagari? Pengelola pustaka nagari rangkap sebagai perangkat nagari, begitu tuan walinagari? Bolehkah? Silakan bila itu tidak melompati pagar aturan yang berlaku. Jin atau makhluk lain yang datang dari zaman nabi Sulaiman juga tidak mengapa. Asalkaan ia adalah orang yang memiliki kecakapan/ketrampilan/siasat memu dahkan anak nagari menjadikan pustaka nagari sebagai tempat rekreasi berpikir dan sumber air pengetahuan di nagari.
Sekedar Beralasan ‘Tak Ada Dana’
Pengalaman saya, mungkin juga Anda, tiap berkomunikasi dan berinteraksi dengan pejabat peme rintahan untuk membicarakan sebuah program. Teramat cepat dan sering, mereka meluncurkan kalimat “anggaran kita tak seberapa” bahkan mereka kerap seperti minta pemakluman “dana kita kecil di sini. Apalah daya untuk itu” Jika tiap bidang atau jenjang pemerintahan yang kita temui memberikan alasan sama seperti itu, maka muncul pertanyaan baru: bidang dan jenjang peme rintahan di negeri mana yang cukup dan besar anggaran untuk kegiatannya? Semuanya me ngaku beranggaran kecil atau tidak punya anggaran. Kepada pemerintahan negara mana kita ha rus berskomunikasi untuk kegiatan pustaka nagari di Indonesia ini, duhai pembaca?
Sekedar Ada Buku
Apakah ada hubungan antara buku-buku atau sumber bacaan koleksi pustaka nagari dengan pengetahuan tentang nagari atau daerah itu sendiri? Semisal buku khusus berisi pengetahuan tokoh berpengeruh di skala nasional/internasional yang berasal dari nagari itu. Atau buku (baca an) yang berisi tentang keunikan dan kekhasan nagari (bentang alam, budaya dlsb) tersebut. Bukankah kesadaran atas kekayaan daerah mampu meningkatkan kepercayaan diri bagi anak nagari dalam berinteraksi dengan orang daerah lain? Begitu kan, teori agungnya duhai tuan walinagari! Adakah buku-buku demikian di pustaka nagari yang tuan walinagari pimpin? Kalau tidak ada, buku-buku seperti apa yang tuan walinagari anggarkan untuk penambahan koleksi pustaka nagari? Untuk siapa dan bagaimana siasat walinagari bersama pengelola pustaka agar buku-buku yang telah menambah tinggi tumpukan di pustaka nagari itu bisa diakses anak nagari?
Sebenarnya jika dibentang lebih panjang tulisan ini bisa berjela-jela. Cukuplah tiga “sekedar” itu saja dulu sebagai bahan renungan agar kita bisa membuat ‘senjata’ pembasmi monster ‘serba sekedar’itu. Monster seram yang terlanjur mengepung arti penting keberadaan pustaka nagari di kampung tercinta kita ini.
Begitu!
*Penggagas dan pimpinan Komunitas Pasaman Boekoe
Pernah dimuat di Padang Ekspres, 21 Januari 2024
Komentar
Posting Komentar